MAKALAH
HIV
PADA PEREMPUAN
Disusun
Oleh:
Nama: HASAN BASRI
NIM: PO.71.21.8.11.24
KEMENTERIAN
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK
KESEHATANA KEMENKES JAYAPURA
PROGRAM
STUDI D-III KEPERAWATAN TIMIKA
TAHUN
2013-2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kelompok panjatkan ke
hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan penyertaan-Nya saya dapat
menyelesaikan Makalah HIV/AIDS pada Perempuan. Makalah
ini merupakan salah satu syarat dalam tugas mata kuliah HIV/AIDS. Saya
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk
perbaikan makalah ini.
Harapan Saya semoga Makalah ini
bermanfaat bagi pembaca dan bagi teman-teman
untuk peningkatan pengetahuan yang lebih
baik di masa mendatang.
Timika,13
februari 2014
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit
AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara didunia (pandemi),
termasuk diantaranya Indonesia. Hingga November 1996 diperkirakan telah
terdapat sebanyak 8.400.000 kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta orang
dewasa dan 1,7 juta anak-anak. Di Indonesia berdasarkan data-data yang
bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan PLP Departemen Kesehatan RI sampai
dengan 1 Mei 1998 jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 685 orang yang dilaporkan
oleh 23 propinsi di Indonesia. Data jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia pada
dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang sebenarnya. Pada
penyakit ini berlaku teori “Gunung Es“ dimana penderita yang kelihatan
hanya sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO mengestimasikan bahwa
dibalik 1 penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang lebih 100-200 penderita
HIV yang belum diketahui.
Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat
membantu memecahkan masalah penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu
alternatif dalam upaya menanggulangi problematik jumlah penderita yang terus
meningkat adalah upaya pencegahan yang dilakukan semua pihak yang mengharuskan
kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan transmisi yang memungkinkan dapat
terserang HIV.
HIV di
Indonesia telah berlangsung 20 tahun. Sejak tahun 2000 epidemi tersebut sudah
mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi
(dengan prevalens > 5%), yaitu pengguna Napza suntik (penasun), wanita
penjaja seks (WPS), dan waria. Situasi demikian menunjukkan bahwa pada umumnya
Indonesia berada pada tahap concentrated epidemic. Situasi penularan ini
disebabkan kombinasi transmisi HIV melalui penggunaan jarum suntik tidak steril
dan transmisi seksual di antara populasi berisiko tinggi. Di Tanah Papua
(Provinsi Papua dan Papua Barat), keadaan yang meningkat ini ternyata telah
menular lebih jauh, yaitu telah terjadi penyebaran HIV melalui hubungan seksual
berisiko pada masyarakat umum (dengan prevalens > 1%). Situasi di Tanah Papua
menunjukkan tahapan telah mencapai generalized epidemic.
Epidemi HIV yang terkonsentrasi ini tergambar dari
laporan Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2006. Sejak tahun 2000 prevalens
HIV mulai konstan di atas 5% pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi
tertentu. Dari beberapa tempat sentinel, pada tahun 2006 prevalens HIV berkisar
21% – 52% pada penasun, 1%-22% pada WPS, dan 3%-17% pada waria.
Situasi epidemi HIV juga tercermin dari hasil Estimasi
Populasi Dewasa Rawan Tertular HIV pada tahun 2006. Diperkirakan ada 4 juta
sampai dengan 8 juta orang paling berisiko terinfeksi HIV dengan jumlah
terbesar pada sub-populasi pelanggan penjaja seks (PPS), yang jumlahnya lebih
dari 3,1 juta orang dan pasangannya sebanyak 1,8 juta. Sekalipun jumlah
sub-populasinya paling besar namun kontribusi pelanggan belum sebanyak penasun
dalam infeksi HIV. Gambaran tersebut dapat dilihat dari hasil estimasi orang
dengan HIV dan AIDS (ODHA) di Indonesia tahun 2006, yang jumlahnya berkisar
169.000-217.000, dimana 46% diantaranya adalah penasun sedangkan PPS (Peria
Penjajah Seks)14%.
Prevalensi HIV-AIDS menurun dikalangan wanita hamil
pendapat ini berdasarkan hasil survey di daerah perkotaan Kenya terutama di
Busnia, Meru, Nakura, Thika, dimana rata-rata prevalensi HIV menurun tajam dari
kira-kira 28% pada tahun 1999 menjadi 9% pada tahun 2003. Di wilayah India
prevalensi secara nasional dikalangan wanita hamil masih rendah di daerah
miskin padat penduduk yaitu Negara bagian utara Uttar Pradesh dan Bihar. Tetapi
peningkatan angka penularan relatif kecil dapat berarti sejumlah besar orang
terinfeksi karena wilayah tersebut dihuni oleh seperempat dari seluruh populasi
India. Prevalensi HIV lebih dari 1% ditemukan dikalangan wanita hamil, di
wilayah industri di bagian barat dan selatan India.
B.
Rumusan Masalah
1. Siapakah
subpopulasi Kelompok Resiko pada Wanita?
2. Siapakah
Sasarannya?
3. Apakah permasalah yang dihadapi
perempuan?
4.
Apakah
Dampak Terhadap Perempuan ?
5. Mengapa Perempuan Perlu Perhatian
Khusus?
C. Tujuan
1. Umum
Agar dapat mengetahui HIV pada
perempuan
2. Khusus
a. Agar
mahasiswa/I dapat mengetahui subpopulasi kelompok beresiko pada wanita
b. Agar
mahasiswa/I dapat mengetahui sasaran dar HIV pada perempuan
c. Agar
mahasiswa/I dapat mengetahui permasalahan yang dhadapi oleh perempuan
d. Agar
mahasiswa/I dampak terhadap perempuan
e. Agar
mahasiswa/I mengetahui perlu perhatian khusus pada wanita
D.
Metode Penulisan
1.
Studi
kepustakaan
Menggunakan dan mempelajari literatur yang menunjang sebagai
teoritis .
2.
Internet
Mengumpulkan data-data dari internet yang berhubungan dengan HIV
pada perempuan
3.
Sistematika Penulisan
Penulisan karya
tulis ini terdiri dari beberapa BAB, sub BAB dengan sistimatika penulisan
sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Didalam BAB ini diuraikan
tentang latar belakang, tujuan
penulisan, metode penulisan dan sistimatika penulisan
BAB II:Pembahasan
Subpopulasi Kelompok Resiko pada
Wanita, Sasarannya, Permasalah
yang dihadapi perempuan, Dampak
Terhadap Perempuan, Perempuan Perlu
Perhatian Khusus?
BAB III:Penutup terdiri
dari : Kesimpulan dan Saran
BAB II
PEMBAHASAN
HIV PADA PEREMPUAN
A.
Subpopulasi
Kelompok Resiko pada Wanita
1.
Pekerja
seksual
Hasil Survei vandepitte(2006,dalam
WHO/UNAIDS, 2009) mengambarkan prosentase populasi pekerja seks sekitar 0,2%
smpai 2,6% didominasi oleh Wanita. Meskipun total populasi pekerja seks wanita
relative kecil disuatu wilayah, tetapi jumlah klien laki-laki sangat besar. Di
beberapa Negara Asia pekerja sangat berisiko terhadap infeksi. DI Myanmar,
Sebagai contaoh terdapat 18% pekerja seksual wanita terinfeksi HIV, sedangkan
diindia hasil survey didapatkan 14,5% pekerja seksual wanita terinfeksi
HIV(WHO/UNAIDS).
Pekerja seksual termasuk dalam
kelompok subpopulasi beresiko karena faktor perilaku(Behavior risk) seperti:
Gonta ganti pasangan, tidak mengunakan kondom saat berhubungan dan mode
hubungan seksual. Kecenderungan seksual berhubungan dengan banyak pasangan sehingga
tidak terdeteksi adanya pasangan yang terinfeksi HIV sehingga dapat menular
kepada pekerja seks(Depkes RI 2003). Pengunaan kondom yang tidak konsisten para
pekerja seks menyebabkan meningkatnya jumlah infeksi HIV, Konsekuensinya
terjadinya penyebaran infeksi pada klien laki-laki.
2.
HIV
dari ibu ke anak
Kelompok Usia anak-anak dibawah 15
tahun yang terinfeksi HIV/AIDS juga sangat tinggi. WHO/UNAIDS (2009),
Melaporkan terjadi peningkata yang signifikan yaitu berjumlah 2.1 juta anaka
yang terinfeksi dengan perkiraan1.2-2.9 juta. Resiko infeksi pada kelompok usia
anak disebabkan karena infeksi vertical yang berasal dari ibu saat mengandung. Infeksi ini terjadi melalui
transplasenta saat janin dalam kandungan dan melalui air susu ibu saat proses
menyusui.
Penularan kepada anak dari ibu yang
terinfeksi HIV?AIDS disebabkan oleh faktor biologi (inherited biological risk),
dimana infeksi pada anak ditularkan secara langsung dari darah ibu ke janin
yang dikandungnya. Darah ibu telah terinfeksi oleh virus HIV dan secara
langsung dapat ditularkan kepada anaknya, selain itu juga bisa terjadi melalui
air susu ibu saat proses menyusui(UNICEF, 2009). Dampak terhadap bayi yang
dilahirkan oleh ibu dengan infeksi HIV?AIDS selain tertular Virus HIV, mereka
juga berisiko melahirkan anak premature dan kemungkinan memiliki angka harapan
hidup yang pendek. Hasil penelitian Fang et al (2009), Mengambarkan resiko
tinggi kematian pada bayi yang dilahirkan pada ibu dengan CD4 kurang dari 200
cells/micro (RR=2.05, 95%CI: 1.01-4.15), resioko tinggi kematian pada bayi
dengan ibu yang tidak terapi ARVS, Resiko terjadinya kelahiran premature 2.87
kali dibandingkan kelahiran matur, dan bayi yang terinfeksi HIV?AIDS memiliki
resiko kematian 9.87 kali dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi.
B. Sasaran
Kelompok sasaran pemberdayaan perempuan dalam pencegahan bahaya
HIV dan AIDS terbagi atas :
1. Kelompok Sasaran Langsung, terdiri dari 7 (tujuh) kelompok usia dalam siklus kehidupan,
yaitu:
a. Remaja
Informasi mengenai Kesehatan Reproduksi sangat dibutuhkan
dalam upaya menurunkan jumlah hubungan seks di luar nikah di kalangan remaja.
Kehamilan remaja dan prospek meningkatnya jumlah kepala keluarga perempuan
tanpa suami merupakan kondisi sosial yang tidak diinginkan di masyarakat.
Perkawinan pada usia terlalu muda dikhawatirkan berdampak meningkatnya
frekuensi perceraian sehingga resiko penularan IMS lebih tinggi, termasuk HIV
dan AIDS.
Di daerah perkotaan dan perdesaan, remaja putus sekolah (khususnya
remaja putri) sering dijadikan objek pemenuhan kebutuhan seks laki-laki dewasa
yang dapat membiayai kebutuhan hidup keluarga pihak perempuan.
b. Pasangan dan Perempuan Usia Subur
Penularan IMS dapat terjadi walau istri hanya berhubungan seks
dengan suami, sehingga dalam upaya melindungi diri dari ancaman IMS serta HIV
dan AIDS maka pasangan dan perempuan usia subur perlu memiliki informasi,
pengetahuan/pemahaman mengenai Kesehatan Reproduksi, IMS, serta HIV dan AIDS.
Perbaikan akses dan sumber informasi harus selalu dikaitkan dengan
upaya meningkatkan pengetahuan, kepedulian dan perlindungan suami serta anggota
keluarga lainnya, termasuk dalam hal ini adalah kemampuan perempuan untuk
memutuskan mengenai kebutuhan hubungan seksualnya.
c. Perempuan Hamil
Penularan HIV dari ibu HIV positif ke bayi yang dikandungnya
merupakan akhir dari rantai penularan yang kemungkinan berawal dari seorang
laki-laki HIV positif yang menularkan kepada pasangannya (istrinya) melalui
hubungan seksual tidak aman, dan selanjutnya perempuan itu menularkan HIV
kepada bayi yang dikandungnya. Sepanjang usia reproduksi aktifnya, perempuan
tersebut secara potensial memiliki resiko untuk menularkan HIV kepada bayi
berikutnya jika ia kembali hamil.
Dukungan yang kuat dari keluarga dan masyarakat di mana mereka
tinggal sangat dibutuhkan, di samping konseling dari petugas kesehatan, tokoh
agama, dan tokoh masyarakat.
d. Ibu Bersalin
Banyak kalangan termasuk juga tenaga kesehatan, berasumsi bahwa
semua bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif pastilah akan terinfeksi HIV
karena darah bayi menyatu dengan darah ibu di dalam kandungan. Ternyata
sirkulasi darah janin dan ibu dipisahkan di plasenta oleh beberapa lapisan sel.
Oksigen, makanan, antibodi dan obat-obatan memang dapat menembus plasenta,
tetapi HIV biasanya tidak dapat menembusnya. Plasenta justru melindungi janin
dari infeksi HIV. Namun jika plasenta meradang, terinfeksi, ataupun rusak maka
bisa jadi virus akan lebih mudah menembus plasenta, sehingga terjadi risiko
penularan HIV ke bayi.
Penularan HIV umumnya terjadi pada saat persalinan ketika
kemungkinan terjadi percampuran darah ibu dan lendir ibu dengan bayi. Tetapi
sebagian besar bayi dari ibu HIV postif tidak tertular HIV. Maka mutlak
diperlukan pelayanan persalinan dan nifas yang sesuai dengan Standard Pelayanan
Minimal (SPM). Resiko terbesar penularan HIV dari Ibu ke bayi terjadi saat
persalinan, oleh karena itu disarankan persalinan pada ibu dengan HIV positif
adalah dengan Bedah Cesar, sehingga resiko penularan HIV dapat ditekan
seminimal mungkin.
e. Ibu Menyusui
Seorang bayi dari ibu HIV positif bisa jadi tetap HIV
negatif selama masa kehamilan dan proses persalinan, tetapi mungkin akan
terinfeksi HIV melalui pemberian ASI. HIV terdapat dalam ASI, meskipun
konsentrasinya jauh lebih kecil dibandingkan dengan HIV di dalam darah. Antara
10-20% bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif akan terinfeksi HIV melalui
pemberian ASI (hingga 18 bulan atau lebih).
Panduan WHO menyebutkan bahwa bayi dari ibu HIV positif
direkomendasikan untuk tidak diberikan ASI, jira susu formula memenuhi
persyaratan AFASS, yaitu :
Aceptable (mudah
diterima) berarti tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu untuk memberikan
susu formula untuk bayi
Feasible (mudah
dilakukan) berarti ibu dan keluarga punya waktu, pengetahuan dan keterampilan
yang memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu formula kepada bayi
Affordable
(terjangkau) berarti ibu dan keluarga mampu membeli susu formula
Sustainable
(berkelanjutan) berarti susu formula harus diberikan setiap hari dan malam
selama usia bayi dan diberikan dalam bentuk segar, serta suplai dan disribusi
susu formula tersebut dijamin keberadaannya
Safe (aman
penggunaannya) berarti susu formula harus disimpan secara benar, higienis
dengan kadar nutrisi yang cukup, disuapkan dengan tangan dan peralatan yang
bersih, serta tidak berdampak peningkatan penggunaan susu formula untuk
masyarakat luas pada umunya.
Jika satu dari prasyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka
dianjurkan memberikan ASI Eksklusif selama maksimal tiga bulan dan kemudian
segera harus dihentikan jika susu formula telah memenuhi persyaratan AFASS.
Penularan HIV melalui pemberian ASI, yaitu:
Umur Bayi
resiko penularan melalui asi akan lebih besar pada bayi yang baru
lahir. antara 50-70% dari semua penularan HIV melalui ASI terjadi pada usia
enam bulan pertama bayi. setelah tahun kedua umur bayi, resiko penularan
menjadi lebih rendah.
Luka Di
Mulut Bayi
bayi yang memiliki luka di mulutnya memiliki resiko untuk tertular
HIV lebih besar ketika diberikan ASI.
f. Anak Bawah Lima Tahun (Balita)
Hanya sejumlah kecil bayi yang lahir dengan HIV positif bisa
bertahan hidup sampai usia 6 tahun. Bayi dengan HIV positif sekitar 40% akan
meninggal sebelum usia 12 bulan, dan lebih dari 50% akan meninggal sebelum usia
dua tahun. Pada usia sekitar tiga atau empat bulan, biasanya timbul gejala
infeksi pada kulit, meningitis, diikuti dengan pembengkakan kelenjar getah
bening, pembengkakan hati dan limpa, gangguan pertumbuhan dan sariawan di mulut
(AIDS Action, 1995), padahal umumnya anak-anak normal pada tahap ini mengalami
pertumbuhan fisik dan perkembangan mental yang cepat. Anak-anak dengan HIV
positif biasanya mengalami kelambatan dalam berjalan dan berbicara.
G. Anak Usia Sekolah
Penularan infeksi HIV dan AIDS pada anak-anak usia sekolah lebih
sering terjadi akibat kekerasan seksual. Dan bila ada anggota keluarga yang
menderita AIDS, kehidupan anak usia sekolah akan diliputi kekhawatiran akan
stigmatisasi dan kematian di rumah, sehingga hal ini dapat menggagalkan
pendidikan dasar, keterampilan dan atau dukungan keluarga. Anak-anak ini
cenderung menjadi kelompok rawan gangguan psikososial.
2.
Kelompok
Sasaran Tidak Langsung
Kelompok
Sasaran Tidak Langsung Terdiri Atas :
a. Organisasi Perempuan
Semua organisasi perempuan, khususnya yang mempunyai jaringan kegiatan
sampai di tingkat lini lapangan serta mempunyai potensi dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan KIE pencegahan HIV dan AIDS.
b. Eksekutif (Pimpinan Daerah, Sektoral, dan Tokoh Kunci).
c. Legislatif (DPR, DPRD).
d. Aparat Penegak Hukum
e. Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat (Para Alim Ulama,
Dai, Pendeta, dan sebagainya).
f. Organisasi Profesi (IDI, POGI, IBI, IAKMI, IDAI).
g. LSM (khususnya yang bergerak dan peduli dalam kegiatan
penanggulangan bahaya HIV dan AIDS).
h. Institusi Keagamaan Organisasi-organisasi keagamaan; baik dari
agama Islam, Katholik, Kristen, Budha, Hindu, dan lain-lain.
i. Media-Massa (media elektronik seperti internet, TV dan radio,
serta media cetak seperti surat kabar, majalah, dan tabloid).
j. Swasta
Perusahaan dan pengusaha yang peduli dengan bahaya dan
penanggulangan HIV dan AIDS
C.
Permasalah yang dihadapi perempuan
1.
Faktor Biologis
Secara biologis perempuan lebih rentan
dibanding laki-laki. Hal ini terjadi karena hubungan seks biasanya membuat
vagina perempuan menjadi lecet, dan HIV masuk melalu luka tersebut. Konsentrasi
HIV di dalam cairan mani jauh lebih tinggi dibanding konsentrasi HIV di cairan
vagina, sehingga menyebabkan penularan HIV dan PMS lebih efektif dari laki-laki
kepada perempuan dibanding sebaliknya. Perempuan juga menghadapi resiko lebih
besar berkaitan dengan kekerasan, seperti pemerkosaan, hubungan incest, dan pemaksaan
hubungan seks bukan melalui vagina, seperti lewat dubur, dimana lebih mudah
terjadi perdarahan.
2. Faktor Ekonomi,
Ketergantungan ekonomi perempuan
menyebabkan perempuan sulit untuk mengontrol agar dirinya tidak terinfeksi,
karena dirinya tidak bisa menolak berhubungan atau meminta suaminya mengenakan
alat pelindung Pemberdayaan
Perempuan Dalam Pencegahan Penyebaran HIV - AIDS (kondom). Kemiskinan
seringkali menyeret perempuan untuk melakukan pekerjaan yang beresiko,
contohnya penjaja seks. Ketika sumber daya ekonomi terputus dari laki-laki yang
dalam banyak kultur, diteguhkan sebagai kepala keluarga, membuat semakin banyak
perempuan yang terpaksa melakukan transaksi seks untuk mempertahankan hidup
keluarganya. Perempuan tanpa akses ekonomi yang cukup akan semakin terpuruk.
3. Faktor Sosial Budaya,
Faktor sosial
budaya yang mempengaruhi relasi timbal balik antara laki-laki dan perempuan
membuat perempuan lebih sering disalahkan sebagai penyebab infeksi. Padahal,
banyak perempuan yang tertular HIV dan AIDS dari pasangan yang berperilaku seks
bebas. Faktor budaya yang menyebabkan perempuan patuh pada “fungsi sosial” yang
salah hasil dari sosial budaya yang tidak berpihak pada perempuan, dan hal-hal
lain yang berkaitan dengan seks tabu untuk dibicarakan. Selain memarjinalkan
perempuan, apalagi yang tidak bersuami, norma budaya mengajarkan perempuan
menjadi sasaran kesalahan ketika terjadi hubungan seks sebelum nikah dan
kehamilan. Stigmatisasi lebih berat yang memungkinkan mereka mengalami
kekerasan.
D. Dampak
Terhadap Perempuan
Semua penyakit berdampak terhadap perempuan, tetapi karena
berkaitan erat dengan perilaku dan isu gender yang kental, maka HIV dan AIDS
merupakan Penyakit Kegawatan (emerging disease) yang paling berdampak terhadap
perempuan.
Perempuan dan remaja putri menanggung beban yang paling berat
akibat epidemi HIV dan AIDS. Diseluruh dunia perempuanlah yang diharapkan
melakukan pekerjaan rumah, merawat anggota keluarga yang sakit, sambil mencari
nafkah untuk menghidupi keluarganya, pada saat suaminya jatuh sakit dan
meninggal karena AIDS. HIV dan AIDS telah secara signifikan meningkatkan beban
yang harus ditanggung oleh perempuan. HIV dan AIDS juga mengakibatkan
peningkatan beban keluarga, kemiskinan serta penderitaan bagi perempuan itu,
karena kehilangan pekerjaan, mahalnya biaya pengobatan.
Pada perempuan usia reproduktif dan remaja putri akan berdampak
pada penularan pada bayi yang dikandungnya.
Remaja putri yang pertama kali dikeluarkan dari sekolah, jika ada
anggota keluarga yang sakit dan membutuhkan perawatan. HIV dan AIDS menjadi
suatu ancaman bagi pendidikan dasar dan berdampak pada remaja perempuan usia
sekolah dasar.
E. Mengapa Perempuan Perlu Perhatian
Khusus
1.
Perempuan
mempunyai peluang lebih besar terinfeksi HIV lewat hubungan seksual
dibandingkan dengan laki-laki. Secara medis rentannya perempuan kemungkinan
karena lapisan bagian dalam alat kelamin perempuan, lebih mudah lecet waktu
mengadakan hubungan seksual dibandingkan lapisan dalam kelamin laki-laki.
Melalui bagian yang lecet inilah virus HIV menembus dan masuk ke peredaran
darah. Infeksi HIV pada perempuan paling banyak terdapat pada kelompok
perempuan berusia produktif.
2. Dengan adanya transisi masyarakat agraris ke masyarakat industri
serta adanya globalisasi di berbagai bidang, meluas dan bertambah banyaknya
kota-kota, majunya teknologi komunikasi, longgarnya struktur sosial dan
struktur keluarga, berdampak terhadap perilaku individu dan masyarakat yang
tentu akan berdampak terhadap risiko terkena HIV dan AIDS.
3.
Perempuan dengan fungsinya melahirkan anak,
sebagai pendidik dan pengasuh anak yang nantinya akan berkembang menjadi
generasi bangsa dan SDM pembangunan.
4. Perempuan merupakan potensi pembangunan yang besar jika
dikembangkan potensinya dengan baik agar menjadi pelaku pembangunan. Dengan
jumlah perempuan usia produktif yang lebih dari 50% jumlah seluruh penduduk
merupakan SDM yang potensial sebagai pelaku pembangunan yang harus terpelihara
kesehatannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kelompok sasaran
pemberdayaan perempuan dalam pencegahan bahaya HIV dan AIDS terbagi atas :
1. Kelompok Sasaran Langsung, terdiri dari 7 (tujuh) kelompok usia dalam siklus kehidupan,
yaitu:
a. Remaja
b. Pasangan dan Perempuan Usia Subur
c. Perempuan hamil
d. Ibu bersalin
e. Ibu menyusui
f. Anak Bawah Lima Tahun (Balita)
g. Anak Usia Sekolah
2.
Kelompok sasaran tidak langsung
a. Organisasi Perempuan
b. Eksekutif (Pimpinan Daerah, Sektoral, dan Tokoh Kunci).
c. Legislatif (DPR, DPRD).
d. Aparat Penegak Hukum
e. Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat (Para Alim Ulama,
Dai, Pendeta, dan sebagainya).
f. Organisasi Profesi (IDI, POGI, IBI, IAKMI, IDAI).
g. LSM (khususnya yang bergerak dan peduli dalam kegiatan
penanggulangan bahaya HIV dan AIDS).
h. Institusi Keagamaan Organisasi-organisasi keagamaan; baik dari
agama Islam, Katholik, Kristen, Budha, Hindu, dan lain-lain.
i. Media-Massa (media elektronik seperti internet, TV dan radio,
serta media cetak seperti surat kabar, majalah, dan tabloid).
j. Swasta
B. Saran
1. Bagi Institusi Pendidikan.
Di harapkan dapat menambah sumber buku perpustakaan di program studi D-
III Keperawatan timika karena sumber referensi tersebut sangat membantu
mahasiswa dalam penyususnan suatu makalah.
2. Bagi Mahasiswa.
Dapat mengaplikasikan ilmu yang telah di dapat di teori, meningkatkan
ilmu pengetahuan dan keterampilan.
DAFTAR PUSTAKA
Brigham et al. (2002). Psichology and AIDS
education: Reducing high risk sexual behavior. Behavior dan social journal.
Washington state university
Setyoyadi, S.Kep,Ns M.kep;Endang Triyanto
S.kep, Ns.Strategi pelayanan keperawatan bagi penderita HIV/AIDS, Edisi
pertama-Yogyakarta; Graha ilmu,
http://www. Unaids.org/en/knowledgecentre/HIvdata. Diperoleh tanggal 10 februari 2014